Jumat, 24 Juni 2011
Kisah Rosita yang Lolos dari Hukuman Pancung
Rosita Siti Saadah (29), seorang tenaga kerja wanita asal Indonesia, yang berhasil lolos dari ancaman hukuman pancung di Persatuan Emirat Arab (PEA), kini bernapas lega. Setelah 20 bulan ditahan di Fujariah, seorang petugas kepolisian membebaskan dan memberikannya tiket pesawat untuk kembali ke Tanah Air. Rosita lantas menggunakan tiket tersebut untuk pulang dan tiba di Indonesia pada 12 Juni 2011. Padahal, saat itu proses pengadilan terhadap kasus persekongkolan pembunuhan yang menjerat Rosita belum sampai pada vonis hakim. Rosita dituduh melakukan persekongkolan untuk membunuh rekannya, sesama pembantu rumah tangga asal Indonesia yang sama-sama bekerja pada Yaser Hasan Mohamed Saif Al Abd.
Dia juga dituduh berpacaran dengan anak majikannya yang bernama Abdalla. Kisah ini dituturkan Rosita kepada para pewarta dalam sebuah diskusi di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta, Kamis (23/6/2011).
Rosita mengungkapkan, kisah berawal saat Rosita dituduh membunuh rekannya. Padahal, dia tidak melakukan perbuatan tersebut. "Yang membunuh itu sebenarnya anak laki-laki majikan saya sama dua temannya," kata Rosita.
Peristiwa pembunuhan itu terjadi sekitar 15 Oktober 2009 atau setelah empat bulan dia bekerja pada Yaser. Pada malam itu, kata Rosita, masuk tiga orang laki-laki ke kamar para pembantu rumah tangga. Seorang lelaki mematikan lampu kemudian mendekap Rosita dan rekannya. Lelaki yang mendekap Rosita mengancam akan membunuhnya jika dia berteriak.
"Saya diam saja, tidak lama mereka pergi," katanya.
Setelah para lelaki itu pergi, Rosita lantas membangunkan rekannya yang tampak tertidur. Namun, rekannya itu tidak juga bangun. Rosita mengira rekannya itu telah dibunuh. Ia lantas berteriak memanggil majikannya.
"Baba, Madam, tolong, saya takut," kata Rosita, mengisahkan kejadian yang dialaminya.
Alih-alih bertanya kepada Rosita, majikannya justru memanggil polisi yang kemudian menggiring Rosita ke dalam tahanan. "Di (kantor) polisi saya ditahan, dipukuli, disuruh mengaku, tapi saya tidak mengaku, tidak boleh istirahat. Selama lima hari enggak boleh tidur," ucap ibu beranak satu itu.
Terus didesak, lanjutnya, Rosita akhirnya mengaku telah berpacaran dengan anak majikan yang telah membunuh rekannya itu. Ia mengungkapkan hal itu dengan harapan polisi turut menyeret anak majikannya itu ke penjara.
"Akhirnya dia (anak majikannya) diperiksa. Dia mengaku bunuh," ujar Rosita.
Meski demikian, pengadilan tetap menuduh Rosita bersekongkol melakukan pembunuhan dan melakukan perbuatan zina dengan berpacaran. "Saya kena tuduhan boyfriend, punya pacar," ujarnya.
Setelah sepuluh bulan mendekam dalam tahanan, lanjut Rosita, akhirnya dia menjalani persidangan. Selama tiga kali disidang, Rosita mengaku tidak didampingi siapa pun, termasuk bantuan hukum dari KBRI. Bantuan hukum dari KBRI baru datang pada sidang keempatnya.
"Karena saya belum paham bahasa Arab, saya minta penerjemah dan pengacara," kata Rosita.
Akhirnya, pada Mei 2011 vonis terhadap Rosita dibacakan. Ia dinilai terbukti berpacaran dengan anak majikannya sehingga harus menjalani hukuman enam bulan penjara. Namun, putusan atas tuduhan persekongkolan pembunuhan yang juga dituduhkan kepada Rosita, belum jelas.
"Kalau yang pembunuhan belum ada putusan. Tanggal 14 Juni harusnya masih ada sidang, tapi Rosita sudah di Indonesia," ujar Staf Penanganan Kasus Buruh Migran Solidaritas Perempuan, Vicky Sylvanie, yang mendampingi Rosita.
Pembebasan Rosita tanpa alasan. Demikian pula dengan status hukum Rosita saat ini. "Semua serba tidak jelas karena memang enggak ada berita resminya. Yang pasti tanggal 12 Juni dia sampai di Indonesia," ujar Vicky.
Kendati demikian, Rosita merasa bersyukur bisa kembali berkumpul dengan anak dan suaminya di Karawang. Dia tidak ingin kembali ke Emirat Arab jika suatu hari diminta untuk menjalani proses persidangan lagi.
"Kalau Rosita dimintai saksi meringankan maupun memberatkan, jelas kami menolak," ujar Vicky.
Hanya saja, Vicky berharap agar Pemerintah Emirat Arab menerangkan status hukum Rosita melalui Kementerian Luar Negeri. "Kita menuntut hak Rosita untuk mengetahui status hukumnya," ucap Vicky.
Ia menambahkan, merupakan suatu keanehan karena pihak KBRI tidak mengetahui bahwa Rosita telah kembali ke Tanah Air. "Tanggal 14 Juni kami ke Kemenlu, orang Kemenlu-nya menelepon Konjen di sana, Konjen-nya bilang, Rosita masih di Emirat Arab, padahal ini sudah sampai ke sini," tutur Vicky.
Becermin dari kisah Rosita tersebut, Vicky berharap agar pemerintah, terutama KBRI, lebih memerhatikan nasib warga negaranya yang menjadi buruh migran itu. Kisah Rosita juga memperlihatkan buruknya koordinasi Pemerintah Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab.
"Untung enggak tahu dia (Rosita) pulang. Kalau enggak, dia dipancung," kata Vicky.----JAKARTA, KOMPAS.com —
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar